Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum w.w.
Pernah nggak teman-teman dapat meme seperti ini :
Yang cari uang = suami, yang nyetrika = istri, yang nyuci baju = istri, yang melayani suami = istri, yang nyuapin anak = istri, yang masak = istri. Trus ketika suami ditanya, “Istrimu kerja apa?” jawaban suami, “nggak kerja, di rumah aja.”
Padahal kerja sudah sebanyak itu, tetap saja dibilang nggak kerja. Karena apa? Karena perempuan masih dipandang rendah oleh laki-laki. Tidak ada saling menghargai satu sama lain. Menganggap bahwa perempuan itu dibawah dari laki-laki. Perempuan tidak punya hak yang sama dengan laki-laki.
Begitupun pandangan masyarakat tentang perempuan. Udah, perempuan tuh dirumah saja urus anak, nggak usah kemana-mana. Kodratnya tuh di rumah bukan kelayapan kemana-mana. Nggak usah ikutan politik, nggak usah belajar tinggi-tinggi. Buat apa? iiih.. kzeeel.
Itu sebabnya, banyak perempuan yang protes dan demo. Mereka minta kesetaraan gender dan minta hak yang sama dengan laki-laki. Tapi protes dan demo yang terjadi dilapangan, bukan meminta kesetaraan gender yang sesungguhnya. Mereka lebih condong berpikiran bahwa perempuan bisa kok menguasai laki-laki. Perempuan bisa lebih hebat dari laki-laki dan laki-laki harus nurut sama perempuan. Edodoeeee…
Kalau sudah begini, efeknya bersitegang antara laki-laki dan perempuan. Hmmm… Jadi sebenarnya kesetaraan gender itu seperti apa sih? Dan Perempuan itu harus bagaimana dalam menyikapi ini?
Semua pertanyaan itu tercerahkan setelah saya mengikuti acara Vivatalk yang diselenggarakan di Hotel Mellinium, pada tanggal 3 Desmber 2019 lalu. Atas kerjasama Viva Network dengan kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA).
Acara Vivatalk ini mengambil tajuk Perempuan Berdaya Indonesia Maju, Perempuan di Era Digital. Dimoderatori oleh Mba Anna Thealita (news anchor tvone), Vivatalk juga menghadirkan para pakar tentang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, yaitu :
- Ibu Dr. Sri Danti, sebagai Pakar Gender
- Bapak Eko Bambang Subiantoro, sebagai Chief of research of polmark dan aliansi laki-laki baru.
- Mba Diajeng Lestari, Founder Hijup.
Sebagai pembuka acara Bapak Henky Hendranantha sekalu Chief Operation Officer Viva Network memberikan sambutan. Beliau menyampaikan bahwa tema tentang pemberdayaan perempuan ini sengaja diambil dalam rangka menyambut hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember nanti di usia ke 91.
Pada sambutannya beliau juga mengatakan bahwa hari ibu bukanlah sekadar perayaan. Tetapi, merupakan tongak emansipasi untuk mewujudkan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pak Henky |
Selanjutnya sambutan dari Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat, Pak Indra Gunawan, SKM., MA sebagai perwakilan dari Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Dalam sambutannya bapak Indra mengatakan bahwa diskusi tentang perempuan diambil karena banyak isu-isu yang terkait tentang perempuan di negeri ini.
Beliau berharap, perempuan di era digital ini harus lebih maju dengan adanya pemberdayaan perempuan.
Setelah sambutan dari Pak Henky dan Pak Indra, maka mulailah dibuka diskusi pagi itu oleh Mba Anna dengan memanggil 2 nara sumber di sesi pertama. Ini loh pemaparan beliau tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di era digital ini.
Kodrat menurut Pak Henky dijelaskan bahwa kodrat laki-laki adalah membuahi, sedangkan perempuan kodratnya hamil, menyusui, menstruasi dan melahirkan.
Jika pernyataan perempuan tuh harusnya di rumah saja, nggak usah kemana-mana, itu lebih kearah konstruksi gender. Kebanyakan yang terungkap diluar mereka menyalah artikan keseteraan gender dengan konstruksi gender.
Keterbukaan laki-laki, menurut Pak Eko, dalam menerima hak-hak yang sama dengan perempuan adalah fundamental kemajuan perempuan di era digital ini. Sehingga pemberdayaan perempuan makin meningkat.
Dengan meningkatnya pemberdayaan perempuan, maka meningkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di suatu negara, termasuk Indonesia, sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Indra Gunawan.
Ibu Sri Danti, sebagai pakar Gender mengatakan kunci kebersamaan dan jalannya kesetaraan gender adalah saling pengertian dan saling memahami antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada lagi saling melempar hak dan kewajiban diantaranya.
Contoh saling pengertian dan memahami disini, seperti pasangan suami istri. Jikala seorang istri sibuk dengan urusan anaknya, lalu mendapat tugas harus memasak bagi suaminya atau ada deadline kerjaan yang harus tuntas, maka suami yang saat itu tidak ada kesibukan, bisa membantu meringankan beban istri dengan membantu mengasuh anak, atau membuatkan masakan.
Iih, kok laki-laki harus ngerjain kerjaan perempuan sih? Itu bukan tugasnya laki-laki. Mindset seperti inilah yang harus ditebas. Sebab perempuan punya hak untuk berkarya sebagaimana halnya lelaki, soal pengurusan anak adalah tanggung jawab berdua. Bukan tugas perempuan saja.
Jaman Rasulullah saja, beliau mau menjahit bajunya sendiri untuk meringankan kerja istrinya. Lalu apakah kita sebagai pengikutinya merasa gengsi melakukan hal yang biasa pasangan kita lakukan?
Nih, saya kasih haditsnya yaa.. biar afdol.
“Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendalnya, dan mengerjakan segala apa yang (layaknya) para suami lakukan di dalam rumah,” (HR. Ahmad 23756).
Yang seperti ini loh disebut kesetaraan gender. Bukan saling menguasai atau merendahkan satu sama lain. Bahkan Ibu Danti bilang, kali ini laki-laki maskulin itu bukan lagi laki-laki yang memamerkan otot dan kekuasaan, namun laki-laki maskulin sejati adalah laki-laki yang bisa menyayangi perempuan dan anak-anak dengan kelembutan hati. Aaahh co cweeeet..
Sekarang disaat suaminya meninggal, ia bingung harus bagaimana. Saudara jauh dan dia tidak punya keahlian apa-apa selain memasak atau membuat kue. Disinilah fungsi kesetaraan gender. Perempuan berusaha mencari nafkah, walau suami masih hidup sekalipun. Jadi disaat ada kondisi kesusahan seperti diatas, perempuan sudah punya solusinya.
Tapi kalau perempuan kerja, siapa yang urus anak-anaknya? Pertanyaan ini selalu dilontarkan dikala perempuan hendak mencari nafkah. Kini, di era digital pertanyaan itu sepertinya tak perlu keluar. Saat ini banyak perempuan yang bekerja dari rumahnya. Sehingga kewajiban dia untuk mengurus anak dan rumah tangga tetap dilaksanakan.
Seperti yang dilakukan oleh Diajeng Lestari, founder Hijup. Ia memang mulai membangun Hijup sejak ia masih gadis. Kesempatan menuntut ilmu dan berkarya dimanfaatkan sebelum ia mempunyai tanggung jawab tambahan sebagai ibu dan istri.
Ia berusaha mengajak para entrepreneur hijab untuk bergabung di e-commerce-nya. Diajeng Lestari berusaha mendirikan Hijup untuk membantu pengusaha-pengusaha lokal, agar bisa memasarkan produknya keluar. Segmen yang diambil yaa apalagi kalau bukan fashion.
Beliau sebagai narasumber sesi kedua, berusaha mengajak perempuan agar menjadi perempuan yang berdaya, mampu berkreasi dan menciptakan sesuatu. Namun masih fleksible waktunya untuk keluarga.
Sehingga dengan pemberdayaan perempuan bukan sekedar membantu ekonomi keluarga, melainkan membantu perekonomian negara juga.
Diajeng Lestari membangun Hijup hingga bisa seperti saat ini karena menanamkan sifat-sifat Rasulullah dalam usahanya, yaitu Tablig, Sidiq, Fatanah dan Amanah. Agar bisa menjadi produsen terpercaya dan menjual produknya secara benar. Selain itu beliau menyiarkan usahanya agar dikenal dunia secara cerdas.
Beliau mengajak perempuan kini harus merubah mindsetnya untuk menjadi produsen bukan konsumen. Sebab, menurut data yang beliau paparkan, Indonesia itu masuk urutan ketiga sebagai negara yang paling konsumtif. Duuuh… Ayolah kita melek yaa, tanamkan dalam hati niat untuk menjadi produsen bukan konsumen lagi.
Selesai pemaparan dari Mba Diajeng Lestari, maka berakhir pula diskusi bergizi hari itu.
Disini saya bisa menarik kesimpulan bahwa kesetaraan gender bukan lagi tentang konstruksi gender, melainkan saling pengertian dan memahami satu sama lain antara hak dan kewajibannya dengan saling memahami dan pengertian serta komunikasi yang baik satu sama lain.
Jadi, jangan salah paham lagi tentang makna kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Semoga tulisan ini bisa menjadi penerang bagi yang membaca ^_^
Wassalam
Pak Indra |
Setelah sambutan dari Pak Henky dan Pak Indra, maka mulailah dibuka diskusi pagi itu oleh Mba Anna dengan memanggil 2 nara sumber di sesi pertama. Ini loh pemaparan beliau tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di era digital ini.
Kesetaraan Gender vs Kodrat
Menurut Bpk. Bambang Eko Subiantoro, gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Jadi gender tidak sama dengan kodrat.Pak Eko (foto by Ria Buchari) |
Kodrat menurut Pak Henky dijelaskan bahwa kodrat laki-laki adalah membuahi, sedangkan perempuan kodratnya hamil, menyusui, menstruasi dan melahirkan.
Jika pernyataan perempuan tuh harusnya di rumah saja, nggak usah kemana-mana, itu lebih kearah konstruksi gender. Kebanyakan yang terungkap diluar mereka menyalah artikan keseteraan gender dengan konstruksi gender.
Keterbukaan laki-laki, menurut Pak Eko, dalam menerima hak-hak yang sama dengan perempuan adalah fundamental kemajuan perempuan di era digital ini. Sehingga pemberdayaan perempuan makin meningkat.
Dengan meningkatnya pemberdayaan perempuan, maka meningkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di suatu negara, termasuk Indonesia, sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Indra Gunawan.
Pengertian dan Saling Memahami dalam Kesetaraan Gender
Bicara gender berarti bicara 2 jenis manusia yang jelas mempunyai sifat dan karakter berbeda. Namun tetap memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama.Ibu Sri Danti, sebagai pakar Gender mengatakan kunci kebersamaan dan jalannya kesetaraan gender adalah saling pengertian dan saling memahami antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada lagi saling melempar hak dan kewajiban diantaranya.
Ibu Danti |
Contoh saling pengertian dan memahami disini, seperti pasangan suami istri. Jikala seorang istri sibuk dengan urusan anaknya, lalu mendapat tugas harus memasak bagi suaminya atau ada deadline kerjaan yang harus tuntas, maka suami yang saat itu tidak ada kesibukan, bisa membantu meringankan beban istri dengan membantu mengasuh anak, atau membuatkan masakan.
Iih, kok laki-laki harus ngerjain kerjaan perempuan sih? Itu bukan tugasnya laki-laki. Mindset seperti inilah yang harus ditebas. Sebab perempuan punya hak untuk berkarya sebagaimana halnya lelaki, soal pengurusan anak adalah tanggung jawab berdua. Bukan tugas perempuan saja.
Jaman Rasulullah saja, beliau mau menjahit bajunya sendiri untuk meringankan kerja istrinya. Lalu apakah kita sebagai pengikutinya merasa gengsi melakukan hal yang biasa pasangan kita lakukan?
Nih, saya kasih haditsnya yaa.. biar afdol.
“Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendalnya, dan mengerjakan segala apa yang (layaknya) para suami lakukan di dalam rumah,” (HR. Ahmad 23756).
Yang seperti ini loh disebut kesetaraan gender. Bukan saling menguasai atau merendahkan satu sama lain. Bahkan Ibu Danti bilang, kali ini laki-laki maskulin itu bukan lagi laki-laki yang memamerkan otot dan kekuasaan, namun laki-laki maskulin sejati adalah laki-laki yang bisa menyayangi perempuan dan anak-anak dengan kelembutan hati. Aaahh co cweeeet..
Jadilah Produsen bukan Konsumen untuk Pemberdayaan Perempuan
Mengapa kesetaraan gender ini penting banget buat kita para perempuan. Saya jadi ingat bagaimana teman saya membuat pengumuman untuk membantu temannya yang baru saja ditinggal pergi (meninggal) suaminya. Perempuan ini memiliki 3 anak yang masih kecil. Keseharian dia hanya di rumah saja mengurus anak. Dia tidak diijinkan mencari nafkah, karena anak-anak tidak ada yang urus.Sekarang disaat suaminya meninggal, ia bingung harus bagaimana. Saudara jauh dan dia tidak punya keahlian apa-apa selain memasak atau membuat kue. Disinilah fungsi kesetaraan gender. Perempuan berusaha mencari nafkah, walau suami masih hidup sekalipun. Jadi disaat ada kondisi kesusahan seperti diatas, perempuan sudah punya solusinya.
Tapi kalau perempuan kerja, siapa yang urus anak-anaknya? Pertanyaan ini selalu dilontarkan dikala perempuan hendak mencari nafkah. Kini, di era digital pertanyaan itu sepertinya tak perlu keluar. Saat ini banyak perempuan yang bekerja dari rumahnya. Sehingga kewajiban dia untuk mengurus anak dan rumah tangga tetap dilaksanakan.
Seperti yang dilakukan oleh Diajeng Lestari, founder Hijup. Ia memang mulai membangun Hijup sejak ia masih gadis. Kesempatan menuntut ilmu dan berkarya dimanfaatkan sebelum ia mempunyai tanggung jawab tambahan sebagai ibu dan istri.
Di Ajeng Lestari |
Ia berusaha mengajak para entrepreneur hijab untuk bergabung di e-commerce-nya. Diajeng Lestari berusaha mendirikan Hijup untuk membantu pengusaha-pengusaha lokal, agar bisa memasarkan produknya keluar. Segmen yang diambil yaa apalagi kalau bukan fashion.
Beliau sebagai narasumber sesi kedua, berusaha mengajak perempuan agar menjadi perempuan yang berdaya, mampu berkreasi dan menciptakan sesuatu. Namun masih fleksible waktunya untuk keluarga.
Sehingga dengan pemberdayaan perempuan bukan sekedar membantu ekonomi keluarga, melainkan membantu perekonomian negara juga.
Diajeng Lestari membangun Hijup hingga bisa seperti saat ini karena menanamkan sifat-sifat Rasulullah dalam usahanya, yaitu Tablig, Sidiq, Fatanah dan Amanah. Agar bisa menjadi produsen terpercaya dan menjual produknya secara benar. Selain itu beliau menyiarkan usahanya agar dikenal dunia secara cerdas.
Beliau mengajak perempuan kini harus merubah mindsetnya untuk menjadi produsen bukan konsumen. Sebab, menurut data yang beliau paparkan, Indonesia itu masuk urutan ketiga sebagai negara yang paling konsumtif. Duuuh… Ayolah kita melek yaa, tanamkan dalam hati niat untuk menjadi produsen bukan konsumen lagi.
Selesai pemaparan dari Mba Diajeng Lestari, maka berakhir pula diskusi bergizi hari itu.
Disini saya bisa menarik kesimpulan bahwa kesetaraan gender bukan lagi tentang konstruksi gender, melainkan saling pengertian dan memahami satu sama lain antara hak dan kewajibannya dengan saling memahami dan pengertian serta komunikasi yang baik satu sama lain.
teman-teman blogger viva |
Jadi, jangan salah paham lagi tentang makna kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Semoga tulisan ini bisa menjadi penerang bagi yang membaca ^_^
Wassalam
Post a Comment
Aduuuh ma kasih yaaa komentarnya. Tapi mohon maaf, buat yang profilnya unknown langsung saya hapus. Semoga silaturahmi kita selalu terjaga walau lewat dumay. Selamat membaca tulisan yang lainnya ^_^